Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri, menempatkan isu pembenahan data negara sebagai agenda prioritas. Agenda ini diusung sebagai respons atas berbagai permasalahan klasik yang menghambat optimalisasi penanganan bencana dan program anti-korupsi. Data yang tersebar dan tidak terstandardisasi dianggap sebagai akar dari inefisiensi dan kerentanan dalam tata kelola pemerintahan.
Dalam situasi bencana, ketiadaan data yang reliabel dapat berakibat fatal. Evakuasi, pendistribusian logistik, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi sangat bergantung pada peta kependudukan yang akurat. Data yang baik memungkinkan identifikasi kelompok rentan—seperti lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas—sehingga respons darurat dapat lebih terarah dan manusiawi. Tanpa data yang solid, upaya penanggulangan bencana berisiko menjadi tidak terkoordinasi dan menghamburkan anggaran.
Sementara itu, dalam medan pemberantasan korupsi, data yang terfragmentasi justru sering dimanfaatkan oleh para koruptor. Mereka dengan leluasa memanipulasi identitas, menggelapkan aset, atau menyembunyikan transaksi ilegal karena tidak ada sistem yang dapat menelusuri jejak digital mereka secara utuh. Integrasi data perpajakan, kepemilikan properti, transaksi keuangan, dan data biometrik akan membentuk digital trail yang mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan korupsi.
Penting untuk dicatat bahwa upaya integrasi data ini juga akan menyasar program subsidi dan bantuan sosial pemerintah. Dengan mendasarkan distribusi pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah dimutakhirkan, pemerintah berpeluang besar menutup celah-celah penyalahgunaan. Evaluasi terhadap program bansos selama pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa data yang bagus menjadi pembeda antara penyaluran yang sukses dan yang penuh masalah.
Implementasi Sistem Satu Data Indonesia (SDI) menjadi keniscayaan. Sistem ini harus dibangun dengan infrastruktur teknologi informasi yang aman dan didukung oleh regulasi yang melindungi privasi data warga negara. DPR mengingatkan bahwa proyek besar ini tidak boleh terjebak pada euforia teknologi semata, tetapi harus diikuti dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelolanya di semua level pemerintahan.
Komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat dari pucuk pimpinan negara menjadi penentu keberhasilan. Sinergi antara Presiden, menteri-menteri terkait, kepala daerah, hingga DPR sendiri harus dijaga untuk memastikan langkah-langkah konkret diambil. Pembenahan data adalah pekerjaan rumah besar yang membutuhkan konsistensi dari satu periode pemerintahan ke periode berikutnya, melampaui kepentingan politik praktis.
Keberhasilan membangun pondasi data yang kuat akan mentransformasi cara pemerintah bekerja. Perencanaan berbasis data (data-driven governance) akan menghasilkan kebijakan yang lebih tepat, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain mempersempit ruang korupsi, pendekatan ini juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
Pada akhirnya, membenahi data negara sama dengan memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional di era digital. Indonesia membutuhkan fondasi informasi yang kokoh untuk berdiri tegak menghadapi ancaman multidimensi, baik yang berasal dari fenomena alam maupun dari ulah manusia yang merusak melalui korupsi. DPR RI menyatakan siap mendukung penuh upaya strategis ini melalui fungsi-fungsi konstitusionalnya.