Kementerian Perdagangan Menegaskan Perlunya Pengawasan Yang Lebih Ketat Terhadap Ekspor Minyak Jelantah

Kamis, 16 Januari 2025

    Bagikan:
Penulis: Nora Jane
(Dok/ANTARA/HO-Kemendag)

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, sebelumnya menyatakan bahwa penurunan suku bunga acuan atau BI-Rate menjadi 5,75 persen bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa pengetatan ekspor minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 2/2025 yang merupakan perubahan atas Permendag nomor 26 Tahun 2024 mengenai Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.

Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Isy Karim, dalam sosialisasi Permendag 2/2025 yang berlangsung di Bekasi, Jawa Barat, pada hari Selasa (14/1). Ia menjelaskan bahwa peraturan ini tidak hanya memperketat ekspor UCO, tetapi juga mencakup limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME) dan residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR).

Isy menegaskan kembali pernyataan Menteri Perdagangan, Budi Santoso, bahwa Permendag 2/2025 diambil untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dalam rangka pelaksanaan program minyak goreng rakyat. Selain itu, kebijakan ini juga mendukung penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).

"Kebijakan terkait ekspor UCO dan residu telah dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Pembahasan dalam rakor ini mencakup alokasi ekspor yang menjadi syarat untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE)," ungkap Isy dalam keterangan di Jakarta, pada hari Kamis. Perry juga menambahkan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga guna menciptakan pertumbuhan yang lebih baik, seperti yang disampaikan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada bulan Januari 2025 di Jakarta, Rabu (15/1).

Menurut Isy, keputusan untuk mengambil kesepakatan dalam rapat koordinasi terkait ekspor UCO dan residu didasarkan pada beberapa faktor, termasuk kebijakan lain yang membatasi ekspor UCO dan residu, seperti penerapan bea keluar yang akan diberlakukan serta penyesuaian angka konversi hak ekspor yang berasal dari Domestic Market Obligation (DMO).

Selain itu, faktor lain yang dipertimbangkan adalah angka produksi dan konsumsi domestik dari UCO dan residu, serta hak ekspor yang dimiliki oleh eksportir untuk UCO dan residu tersebut.

"Selain itu, eksportir yang telah memiliki PE UCO dan PE residu yang diterbitkan berdasarkan peraturan menteri perdagangan sebelumnya tetap diperbolehkan untuk melakukan ekspor. PE tersebut akan tetap berlaku hingga masa berlakunya berakhir," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag, Farid Amir, menjelaskan bahwa penerbitan Permendag 2/2025 juga didasarkan pada meningkatnya permintaan POME, HAPOR, dan UCO sebagai dampak dari penerapan kebijakan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).

Alasan lain yang mendasari Permendag adalah meningkatnya praktik pencampuran CPO dengan POME dan HAPOR yang asli, serta metode pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang langsung dibusukkan menjadi POME dan HAPOR.

Perubahan dalam Permendag mencakup revisi syarat dan prosedur untuk memperoleh PE UCO dan residu. Menurut Permendag 2/2025, PE akan diterbitkan dengan kewajiban untuk melengkapi syarat alokasi jika disetujui dalam rapat koordinasi," jelas Farid.

Ia mengharapkan adanya kolaborasi antara eksportir dan asosiasi untuk menyampaikan data yang mendukung kebijakan ekspor produk CPO dan turunannya. Data tersebut mencakup jumlah produksi, pasokan, konsumsi, serta permintaan.

(Nora Jane)

Baca Juga: Tingkatkan Literasi, OJK Gandeng UMSU Edukasi Mahasiswa Kelola Keuangan
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.