ANTARA/HO-Humas KKP

KKP: Organisasi Tuna Global IOTC Mewajibkan Kapal Penangkap Untuk Menggunakan VMS

Jumat, 02 Mei 2025

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginformasikan bahwa organisasi pengelolaan perikanan tuna, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), mewajibkan penerapan sistem pemantauan kapal (VMS) pada kapal-kapal penangkap tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan di bidang Ekonomi Sosial dan Budaya, Trian Yunanda, menjelaskan bahwa penggunaan alat ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan para penangkap terhadap praktik penangkapan ikan ilegal yang tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF). "Hal ini telah diatur dalam resolusi 15/03, di mana VMS diwajibkan bagi kapal-kapal tuna.

Mari kita perbaiki bersama, VMS itu wajib, agar hasil tangkapan para pelaku usaha dapat bersaing," ujar Trian dalam keterangan yang disampaikan di Jakarta pada hari Kamis. KKP dalam merumuskan regulasi VMS di dalam negeri berupaya untuk menyesuaikan dengan ketentuan internasional. Ini merupakan komitmen pemerintah untuk menjaga keberlanjutan ekosistem, melawan IUUF, serta meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global. Ia juga menyampaikan bahwa dengan adanya VMS, sistem pengawasan terhadap kapal penangkap ikan akan menjadi lebih efektif. Trian menegaskan bahwa saat ini penggunaan VMS hanya diwajibkan untuk kapal yang memiliki izin pusat, dan tidak berlaku untuk kapal nelayan kecil. "VMS ini ditujukan untuk kapal komersial yang digunakan oleh pelaku usaha, yaitu kapal dengan ukuran 30 GT ke atas, atau di atas 10 GT yang menangkap ikan di luar 12 mil laut," jelasnya. Berkat peningkatan kepatuhan Indonesia dalam melaksanakan program VMS, Indonesia berhasil menambah kuota tangkapan tuna dalam sidang ke-29 IOTC yang berlangsung di La Reunion, Prancis beberapa waktu lalu.

Diplomasi yang dilakukan oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh KKP berhasil meyakinkan IOTC untuk mendapatkan tambahan kuota tangkapan bagi tiga jenis tuna. Rincian kuota tangkapan big eye meningkat dari 2.791 ton menjadi 21.396 ton untuk periode 2026-2028, sedangkan kuota untuk skipjack tuna (cakalang) ditetapkan menjadi 138.000 ton, dan yellowfin tuna disepakati sebesar 45.426 ton untuk tahun 2025.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengajak semua pihak untuk mematuhi aturan yang ada. Ia menegaskan bahwa penangkapan tuna tidak diatur oleh masing-masing negara, melainkan secara regional.

Meskipun saat ini masih ada penolakan terhadap penggunaan VMS, ia berharap akan segera ditemukan solusi agar semua kapal, terutama yang menangkap tuna, dilengkapi dengan perangkat teknologi satelit tersebut. Tanpa mematuhi aturan, tuna Indonesia berisiko sulit bersaing di pasar global.

"Kita harus mengikuti aturan ini, karena ini merupakan ketentuan dari RFMO, jika tidak, dampaknya akan dirasakan di pasar," ujar Billahmar.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.