Jakarta - Besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite kembali menjadi perhatian publik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, membeberkan perhitungan yang menunjukkan betapa besar alokasi dana APBN yang diperlukan hanya untuk mempertahankan harga eceran Pertalite di level Rp 10.000 per liter. Perhitungan ini dibuat dengan asumsi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah berada pada level tertentu, yang jika berubah maka besaran subsidi juga akan menyesuaikan.
Secara teknis, besaran subsidi per liter dihitung dari selisih antara Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 10.000, dengan Harga Keekonomian yang merupakan gabungan dari biaya bahan baku (MOPS), biaya distribusi, margin usaha, dan pajak. Harga keekonomian ini bersifat floating dan mengikuti pasar. Saat harga minyak dunia naik atau rupiah melemah, harga keekonomian membumbung tinggi, sehingga selisih yang harus ditanggung pemerintah melalui subsidi juga membesar.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengilustrasikan, dalam suatu periode, harga keekonomian Pertalite bisa mencapai Rp 13.500 per liter. Dengan HJE Rp 10.000, maka pemerintah harus menanggung selisih Rp 3.500 untuk setiap liternya. Jika dikalikan dengan volume konsumsi Pertalite nasional yang mencapai puluhan juta kiloliter per tahun, maka total beban subsidi yang harus dikeluarkan APBN bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Angka ini merupakan porsi yang sangat signifikan dari belanja negara.
Alokasi dana sebesar itu tentu memiliki opportunity cost yang tinggi. Dana ratusan triliun rupiah sebenarnya dapat dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur strategis, meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan, atau memperkuat program jaring pengaman sosial lainnya. Namun, pemerintah memilih prioritas untuk menjaga stabilitas harga dan mencegah inflasi yang dapat menyengsarakan masyarakat berpenghasilan rendah.
Transparansi mengenai besaran subsidi ini diharapkan dapat memicu kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM secara lebih bijak dan efisien. Pemerintah juga terus mendorong program konversi energi, baik dari BBM ke gas (BBG) untuk kendaraan maupun percepatan adopsi kendaraan listrik. Pengurangan ketergantungan pada BBM bersubsidi menjadi tujuan jangka menengah untuk meringankan beban fiskal.
Ekonom Faisal Basri menyoroti bahwa subsidi BBM yang tidak tepat sasaran justru banyak dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah atas yang memiliki kendaraan lebih dari satu. Oleh karena itu, selain transparansi besaran, perlu upaya serius untuk memastikan subsidi benar-benar mencapai kelompok yang rentan. "Mekanisme saat ini masih sangat rentan terhadap inefisiensi dan penyalahgunaan," tegasnya.
Pertamina sebagai pelaksana penyalur BBM bersubsidi dituntut untuk mengoptimalkan sistem distribusi dan pengawasan. Teknologi seperti MyPertamina dan pembatasan pembelian berdasarkan jenis kendaraan telah diterapkan, namun evaluasi terus dilakukan untuk menutup celah-celah penyimpangan. Sinergi dengan kepolisian dan pemerintah daerah juga ditingkatkan untuk memberantas praktik penimbunan dan selisih harga.
Kebijakan mempertahankan harga Pertalite Rp 10.000 dengan subsidi besar merupakan pilihan politik ekonomi yang penuh konsekuensi. Ke depan, pemerintah ditantang untuk tidak hanya mampu mengelola subsidi dengan baik, tetapi juga secara paralel membangun ketahanan energi nasional melalui diversifikasi sumber energi, sehingga ketergantungan pada BBM impor dan volatilitas harganya dapat dikurangi secara struktural.